Politik Tanpa Uang, Bisakah?

Edo Perindo

Oleh: Redo A. Rizaldi, S.IP

Sebelum kita membahas lebih jauh, perlu kita garis bawahi bahwa yang dimaksud dengan uang disini bukanlah pemanfaatan untuk urusan gule kupi atau sekedar silaturrahmi, akan tetapi pemanfaatan di momen-momen krusial yang biasa kita kenal dengan istilah ‘money politics’ atau politik uang yang melanggar secara aturan, etika dan asas pemilihan umum yang jujur dan adil.

‘Money politics’ atau politik uang sudah ada bahkan dari zaman Romawi Kuno, pun pada akhirnya kemudian menjadi salah satu penyebab dari keruntuhan dari kerajaan tersebut, sepertinya tidaklah menjadi pelajaran bagi kita sama sekali.

Sudah menjadi rahasia umum, mendekati hari pemilihan akan ada upaya-upaya dari para calon yang ingin duduk menjadi legislator kota ini menggunakan sejumlah uang dari yang paling kecil 50 ribu rupiah, hingga jika mendesak bisa sampai 400-500 ribu rupiah per pemilih.

Apakah yang saya sampaikan itu tidak benar? Hanya isu tak berdasar atau  kebohongan semata? Bisa jadi, Saya sendiri pun tidak memiliki bukti, karena secara pribadi saya tidak pernah terlibat dalam praktek tersebut, terserah mau percaya atau tidak.

Kalau kita tanyakan satu persatu anggota dewan yang duduk saat ini pun, pasti mereka menyangkalnya.

Ini yang menjadi agak sedikit rumit. Politik uang atau Money Politcs itu seperti ada dan tiada. Dibilang ada namun tidak ada yang terbukti di hadapan hukum mengakui terlibat di dalamnya (itu akan bodoh) Dibilang tidak ada, disekitar Saya banyak yang mengakui (tidak dihadapan hukum tentu saja) menerima sejumlah uang untuk memilih para anggota yang saat ini duduk di gedung dewan kota ini.

Secara aturan, secara hukum hal tersebut jelas tidak diperbolehkan. Namun dalam praktek politik yang ada saat ini, kita bisa tanya kepada semua orang, baik yang memilih maupun yang dipilih, ada tidak yang duduk saat ini tidak melakukan sama sekali politik transaksional di masa pemilihan? Saya yakin kita memiliki jawaban yang sama dalam hal ini. Ada tidak yang duduk hanya bermodalkan gule kupi? Atau sekedar silaturrahmi? Bermodalkan dibawah 100 juta rupiah? Ada tidak? Sekali lagi Saya yakin tanpa diungkapkan pun jawaban kita pasti kurang lebih sama.

Lantas apa yang salah dari itu semua? Ketika semua orang melanggar aturan, etika dan asas pemilihan dalam rangka untuk memenangkan kursi yang mereka duduki saat ini? Toh bukan kah itu satu-satunya tujuan dari pemilihan yang kita adakan setiap lima tahun ini? Kemenangan.

Untuk apa mengikuti semua aturan main, taat pada etika dan asas lalu kemudian kalah oleh mereka yang memenangkannya dengan cara melanggar aturan lalu duduk tenang menikmati kemenangan mereka? Untuk apa?

Toh pada akhirnya, yang kalah dengan taat pada aturan tidak membuat perubahan apa pun, terlupakan, tidak berbekas sedikit pun di mata masyarakat, hanya dipandang sebagai orang baik, tidak lebih. Yang menang memanfaatkan kekuasannya untuk nah ini, yang bisa kita uraikan sedikit. Apa yang sekiranya dilakukan selama ini oleh mereka yang sudah menghabiskan uang 400 juta rupiah sampai 2 Miliyar, Ketika mereka berkuasa. Apa?

Jika anda membeli sebuah mobil atau kursi dalam hal ini dengan kisaran harga yang saya sebutkan di atas, apa yang akan anda lakukan? Tentu saja yang terbaik adalah jika sebuah mobil atau kursi itu tadi dimanfaatkan untuk kemashlahatan umat. Namun bagaimana kalau biaya pembelian itu berasal dari hutang piutang? Jumlah segitu tentu saja tidak sedikit dan orang yang berhutang pasti lah tidak memiliki dan memaksakan diri, melakukan perjudian nasib menggunakan uang dari hutang tersebut sebagai modal maju mencalonkan diri sebagai caleg dan puji Tuhan menang. Ada berapa yang anda ketahui anggota dewan yang menang dengan cara tidak berhutang? Ada memang?

Lantas, begitu menang apakah hutang besar tersebut menghilang? Tentu saja tidak. Harus dibayar, dengan apa? Uang tersebut biasanya sudah habis sehabis-habisnya pada masa pemilihan. Lalu?

Kita pasti sudah terlalu sering mendengar anggota dewan menggadaikan SK pengangkatannya ke pihak bank untuk membayar hutang-hutang tersebut. Lantas? Dengan sisa gaji 500 ribu sampai satu juta setelah dipotong oleh pihak bank, apa kah cukup untuk kehidupan sehari-sehari? Lantas dengan cara apa mereka mencari kekurangannya untuk sekedar bertahan hidup? Untuk membeli mobil-mobil SUV yang kita lihat bersliweran dimiliki oleh para anggota dewan ini?

Dengan membuat peraturan perundangan sesuai dengan tugas & tanggung jawab mereka?  Yang benar saja.

Kita bisa membahas ini berpanjang lebar dan tidak akan ada habis-habisnya, anda semua saya yakin, sudah tahu semua realitas itu.

Namun deretan pertanyaan pamungkas yang ingin saya kemukakan kepada kita semua adalah, apa kah dampak dari politik uang ini sebenarnya?

Bagaimana dengan jalan-jalan yang rusak dan berlubang, pembangunan yang jalan ditempat, ketimpangan antara kota dan daerah perhuluan? Apakah secara langsung maupun tidak langsung akibat dari politik uang tersebut? Atau tidak ada hubungannya sama sekali?

Saya sengaja mengajukan banyak pertanyaan ini karena Saya lebih suka meyakini kita semua adalah makhluk yang cerdas dan Saya ingin mengajak orang untuk berpikir kritis sekaligus menjadi semacam sedikit ungkapan kegelisahan Saya secara pribadi.

Saat ini Saya mendaftarkan diri menjadi bakal calon anggota DPRD Ketapang dari Partai Perindo untuk tahun 2024 yang akan datang untuk daerah pemilihan Benua Kayong hingga Matan Hilir Selatan.

Apakah kalau saya maju tanpa menggunakan politik uang? Apakah kalian para pemilih akan memilih saya? Tiga sampai empat ratus orang yang Saya kenal Saya yakin baik kerabat maupun kenalan akan memilih saya tanpa diembeli uang di masa pemilihan, namun apa kah itu cukup untuk saya duduk? Sementara yang diperlukan adalah kurang lebih empat ribu suara untuk satu kursi yang tentu saja tanpa dukungan dari caleg dari partai saya mustahil untuk memperjuangkannya sendirian.

Namun kalau berharap semua suara yang saya perlukan itu bisa diraih tanpa perlu melakukan politik uang-pada akhirnya-dengan realita yang ada merupakan hal yang sama sekali mustahil.

Lantas kemudian kelak, apabila saya ditakdirkan untuk menang dan duduk, apa bedanya saya dengan mereka yang berkuasa saat ini?

Apakah Saya juga tidak bisa terlepas dari karut marut lingkaran setan? Yang pada akhirnya hanya akan merusak diri dan tanpa disadari juga menyeret masyarakat kita ke ambang kehancuran yang sama seperti dialami oleh orang romawi kuno pada waktu itu. Yang berbeda mungkin hanya, Romawi kuno masih meninggalkan jejak-jejak peradaban hingga saat ini, sementara kita seperti belum sama sekali belum memulai membangun peradaban apa pun hanya diombang-ambing oleh gelombang zaman. ■

Penulis adalah Calon Anggota DPRD Kab. Ketapang Dapil 7 Benua Kayong-Matan Hilir Selatan dari Partai Perindo.