Ketapang, infoketapang – Kehebohan polemik tentang nasab para habaib di Indonesia terus berkembang, pasca KH. Imaduddin Al-Bantani melakukan penelitian nasab tersebut dan diberi judul “Menakar Kesahihan Nasab Habib Di Indonesia”.
Penelitian atau kajian nasab yang dilakukan Kyai Imaduddin Utsman Al-Bantani (Kyai Imad) menyimpulkan tidak terkonfirmasinya nama Ubaidillah (383 H) sebagai anak dari Ahmad bin Isa. Padahal para habaib yang ada di Indonesia mengklaim sebagai keturunan Alwi (400 H) bin Ubaidillah. Mereka menisbatkan diri sebagai Ba-Alawi.
Berdasarkan penelusuran tim infoketapang dari laman nahdlatululum.com, KH. Imaduddin menjelaskan dalam tulisannya di laman tersebut dengan judul “Pengakuan Para Habib Sebagai Keturunan Nabi Belum Terbukti Secara Ilmiyah”, disimpulkan olehnya
“Dengan demikian semua keturunan Ubaidillah berkedudukan yang sama yaitu bahwa nasab mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad s.a.w. tertolak karena tidak terkonfirmasi secara ilmiyah sampai ditemukan kitab yang lebih tua (yang ditulis abad ke empat atau ketiga hijriah) yang menyebutkan sebaliknya. Wallahu a’lam bishowab.” tertulis oleh KH. Imaduddin.
Dalam tulisannya lain yang dipublikasikan di nahdlatululum.com, dengan judul “Menjawab Bantahan Nasab Bahar Smith”, KH. Imaduddin menulis
“Hal lain yang Bahar sampaikan adalah tentang Walisongo. Menurut Bahar walisongo itu habaib, tapi turunannya tidak ada alias terputus. Tidak ada keturunan walisongo. Ini yang lucu. Bahar seperti lupa kalau Kesultanan Cirebon masih ada sampai sekarang dan sultannya secara estapet adalah keturunan garis laki dari Sunan Gunung Jati.” tulis KH. Imaduddin.
Dalam tulisannya yang lain, diberi judul “Terdeteksi, Habib Ali Bin Abu Bakar As-Sakran Tokoh yang Pertama Sebut Ubaidillah Sebagai Anak Ahmad”.
“Habib Ali al-Sakran menulis sebuah kitab yang diberi nama Al-Burqatul Mutsiqoh (selanjutnya disebut al-Burqah). Dalam kitab itulah untuk pertama kali nama Ubaidillah disebut sebagai Anak Ahmad bin Isa dengan argument bahwa Ubaidillah ini adalah nama lain Abdullah yang disebut oleh Al-Jundi (w. 730 H.). Kitab-kitab selanjutnya yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, kemungkinan besar, menukil dari Habib Ali al-Sakran tersebut”, dalam tulisannya tersebut.
Siapakah sosok KH. Imaduddin al-Bantani yang berani meneliti tentang nasab sejauh itu, kontroversial, meragukan status habib, dan membuat geger masyarakat Indonesia?
Berdasarkan laman tangerangnews.com, Imaduddin Utsman Al-Bantani lahir di Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Minggu 15 Agustus 1976. Ia merupakan sosok pengasuh sekaligus pendiri dari Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum di Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang.
Imaduddin memperoleh gelar Sarjana Agama setelah menyelesaikan studinya di IAIN Banten, lalu ia berhasil mendapat gelar Magister Agama usai menuntaskan pendidikannya di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
Ulama asal Tangerang ini menempuh pendidikan Agama Islam melalui berbagai macam pondok pesantren yang ia jajaki di antaranya Pondok Pesantren Cidahu Pandeglang, Pondok Pesantren Daar al Falah, Rengas Dengklok Karawang, Pondok Pesantren al-Wardayani di Sukabumi, Pondok Pesantren Pertapan di Binuang Serang, Pondok Pesantren Gaga di Kronjo, Pondok Pesantren Buni Ayu di Balaraja, Ruwaq al-Azhar di Iskandaria, Mesir.
Imaduddin Utsman Al-Bantani dikenal aktif terlibat dalam kepengurusan Nadhlatul Ulama, diketahui pada 2006 hingga 2011 ia dipercaya menjadi Ketua Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Kecamatan Kresek. Pada 2018 ia didapuk untuk menjabat sebagai Wakil Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Banten.
Mulai 2020 hingga saat ini, Imaduddin tengah menjabat sebagai Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten sekaligus penasihat Generasi Muda Nahdlatul Ulama (GMNU) Provinsi Banten dan Rijalul Anshor Kabupaten Tangerang.
Beberapa karya tulisnya di antaranya Kitab al-Ta’aruf fi Muqaddimat ilm al-Tasawwuf (Bahasa Arab: Ilmu Tasawuf); al-Nail al-Kamil fi Syarh Matn al-Awamil (Bahasa Arab: Ilmu Nahwu); al-Qawl al-Mufid fi Hukmi al-Mukabbir al-Shaut fi al-Masajid (Bahasa Arab: Fikih Tentang Hukum Speaker); Al-Qawl al-Labib fi Hukm al-Talaqqub bi al-Habib (Bahasa Arab: Fikih Tentang Hukum Bergelar Habib); Tuhfat al Nadzirin (Bahasa Jawa tulisan pegon: Ilmu Mantiq); Fath al-Gafur fi Abyat al Buhur (Bahasa Arab: Wazan syair arab); Ilmu Waris Terjemah Matan al-Rahbiyah (Bahasa Indonesia: Ilmu Waris); Sejarah Pendiri Tangerang; Raden Aria Wangsakara (Bahasa Indonesia: Sejarah); Dari Banten Ku Sebut Namamu (Bahasa Indonesia: Novel).
Sampai saat ini, penelitian KH. Imaduddin al Bantani direspon dengan ada yang mendukung dan ada yang kontra di masyarakat Indonesia. KH. Imaduddin sendiri menjawab bantahan terhadap ‘ulama-ulama yang kontra dengannya’ dalam tulisan-tulisan yang dipublikasi Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum di laman nahdlatululum.com. (DrN)
You must log in to post a comment.