Skip to content
info ketapang

Terpercaya dan Terdepan

  • Home
  • Agama
  • Bisnis
  • Desa
  • Ekonomi
  • Kriminal
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Politik
  • Iptek
  • Sosial Budaya
  • Medik.TV
  • Opini

Efisiensi Anggaran dan Percepatan Pembangunan yang Terabaikan

infoketapang 10/12/2025 180 Views
Efisiensi

Oleh: Frans Febryan, S.STP, ME

Penulis adalah salah satu Aparatur Negeri Sipil di Pemerintah Kabupaten Ketapang

Mengapa pembangunan kita terasa lambat padahal anggaran terus bertambah? Jawabannya mungkin terletak pada efisiensi, bukan jumlah.

Setiap tahun, kita menyaksikan ritual yang sama: pembahasan anggaran yang alot di parlemen, perdebatan tentang defisit dan utang, serta janji-janji pembangunan yang ambisius. Namun ketika tahun berganti, masyarakat sering bertanya-tanya: kemana perginya triliunan rupiah yang telah dianggarkan? Mengapa jalan-jalan tetap berlubang, rumah sakit kekurangan obat, dan sekolah-sekolah masih rusak? Pertanyaan ini sebenarnya mengarah pada satu isu fundamental yang jarang dibahas secara serius: efisiensi anggaran. Dalam diskusi publik tentang pembangunan, kita terlalu sering terjebak pada perdebatan tentang “seberapa besar” anggaran yang dibutuhkan. Politisi berlomba-lomba mengusulkan penambahan anggaran untuk berbagai sektor tanpa terlebih dahulu mengaudit seberapa efisien anggaran yang ada telah digunakan. Media massa ramai memberitakan skandal korupsi bernilai miliaran rupiah, namun kurang memberi perhatian pada pemborosan sistemik yang nilainya jauh lebih besar. Masyarakat menuntut lebih banyak pembangunan, tetapi jarang mempertanyakan mengapa biaya pembangunan kita jauh lebih mahal dibanding negara tetangga dengan kualitas yang serupa.

Paradoks Anggaran: Besar Belum Tentu Berdampak

Mari kita mulai dengan fakta yang menggelitik. Indonesia mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar 20 persen dari APBN, salah satu yang tertinggi di dunia dalam proporsi terhadap anggaran nasional. Namun dalam berbagai survei internasional tentang kualitas pendidikan, kita masih berada di peringkat bawah. Bagaimana ini bisa terjadi? Anggaran kesehatan kita terus meningkat, namun masyarakat masih mengeluh tentang panjangnya antrean di puskesmas dan mahalnya biaya berobat di rumah sakit swasta. Anggaran infrastruktur membengkak, tetapi pembangunan jalan tol atau MRT sering molor bertahun-tahun dan membengkak biayanya.

Paradoks ini menunjukkan bahwa persoalan kita bukan semata-mata kekurangan anggaran, melainkan bagaimana anggaran itu dikelola dan dimanfaatkan. Dalam bahasa ekonomi, ini adalah persoalan efisiensi. Sebuah studi komparatif menunjukkan bahwa biaya pembangunan jalan tol di Indonesia bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat dibanding Malaysia atau Thailand untuk spesifikasi yang sama. Biaya pembangunan rumah sakit pemerintah kita per meter persegi sering kali melebihi biaya rumah sakit swasta. Pengadaan komputer untuk sekolah-sekolah bisa menghabiskan anggaran 30-40 persen lebih mahal dari harga pasar. Inefisiensi ini bukan hanya soal angka di atas kertas. Setiap rupiah yang terbuang sia-sia adalah kesempatan yang hilang untuk membangun satu sekolah lagi, merekrut lebih banyak tenaga kesehatan, atau memperbaiki infrastruktur di daerah terpencil. Ketika proyek pembangunan jalan senilai 100 miliar rupiah membengkak menjadi 150 miliar karena mark-up dan korupsi, yang hilang bukan hanya 50 miliar rupiah, tetapi juga kesempatan untuk membangun jalan lain sepanjang 50 kilometer di daerah yang membutuhkan.

Akar Permasalahan Dari Perencanaan hingga Pertanggungjawaban

Untuk memahami mengapa inefisiensi begitu mengakar dalam sistem penganggaran kita, kita perlu melihat seluruh siklus anggaran dari hulu ke hilir. Permasalahan dimulai sejak tahap perencanaan. Terlalu sering, dokumen perencanaan pembangunan disusun tanpa data yang akurat dan analisis kebutuhan yang mendalam. Program-program diusulkan berdasarkan aspirasi politik atau tren sesaat, bukan berdasarkan prioritas riil dan studi kelayakan yang matang.

Saya ingat ketika berkunjung ke sebuah kabupaten di Kalimantan beberapa tahun lalu. Di sana terdapat sebuah gedung olahraga megah yang hampir tidak pernah digunakan, berdiri di tengah daerah yang sekolah dasarnya masih banyak yang tidak layak. Ketika ditanya, seorang pejabat lokal menjelaskan bahwa gedung itu dibangun karena pada tahun anggaran tersebut ada “rejeki” dari dana bagi hasil, dan sang bupati ingin memiliki “landmark” untuk kenang-kenangan. Tidak ada studi tentang kebutuhan masyarakat, tidak ada perhitungan biaya operasional jangka panjang, tidak ada pertimbangan prioritas. Ini adalah contoh klasik inefisiensi alokatif: uang dihabiskan untuk sesuatu yang salah.

Masalah berlanjut di tahap pelaksanaan. Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, meskipun telah beralih ke sistem elektronik, masih menyisakan banyak celah untuk praktik yang tidak efisien. Mark-up harga masih marak terjadi. Spesifikasi teknis sering disesuaikan untuk menguntungkan rekanan tertentu. Tender yang seharusnya kompetitif berubah menjadi sandiwara karena sudah ada kesepakatan di belakang layar. Akibatnya, pemerintah membayar lebih mahal untuk barang atau jasa yang sebenarnya bisa didapat dengan harga lebih murah. Pengawasan yang lemah memperparah situasi. Inspektorat daerah sering kali tidak independen karena berada di bawah kepala daerah yang anggarannya mereka audit. Audit Badan Pemeriksa Keuangan sering terlambat dan rekomendasinya tidak ditindaklanjuti dengan serius. Masyarakat yang seharusnya menjadi pengawas utama tidak memiliki akses informasi yang memadai tentang bagaimana anggaran direncanakan dan dibelanjakan. Transparansi anggaran di banyak daerah masih sebatas dokumen formal yang sulit dipahami dan tidak mudah diakses.

Biaya Tersembunyi dari Inefisiensi

Yang sering tidak disadari adalah bahwa inefisiensi anggaran memiliki dampak berganda yang melampaui kerugian finansial langsung. Ketika sebuah proyek jalan mengalami pembengkakan biaya dan keterlambatan, kerugiannya bukan hanya uang yang terbuang, tetapi juga opportunity cost dari penggunaan alternatif dana tersebut, kerugian ekonomi akibat jalan yang tidak jadi terbangun, dan yang paling penting: erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Ketidakpercayaan ini menciptakan lingkaran setan. Masyarakat menjadi sinis terhadap janji-janji pembangunan. Mereka enggan membayar pajak dengan penuh karena merasa uangnya tidak dikelola dengan baik. Tekanan untuk meningkatkan pendapatan memaksa pemerintah menaikkan berbagai pungutan, yang pada gilirannya membebani dunia usaha dan masyarakat. Iklim investasi memburuk karena investor melihat tingginya biaya dan ketidakpastian dalam berurusan dengan pemerintah. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi melambat dan kesejahteraan masyarakat tidak meningkat sesuai harapan. Ada juga biaya sosial yang sulit diukur namun sangat nyata. Ketika masyarakat melihat pemborosan dan korupsi anggaran terjadi tanpa sanksi yang tegas, ini mengirimkan sinyal bahwa ketidakjujuran adalah sesuatu yang bisa ditoleransi. Budaya permisif terhadap inefisiensi dan penyimpangan lambat laun menggerogoti nilai-nilai integritas dalam masyarakat. Generasi muda tumbuh dengan pemahaman bahwa untuk sukses, yang penting adalah “pandai bermain” dalam sistem, bukan bekerja dengan efisien dan jujur.

Belajar dari yang Terbaik

Menarik untuk melihat bagaimana negara-negara lain menangani persoalan efisiensi anggaran. Singapura, misalnya, memiliki sistem yang sangat ketat dalam pengelolaan keuangan publik. Setiap proposal anggaran harus disertai dengan analisis cost-benefit yang detail dan diaudit oleh unit independen sebelum disetujui. Pelaksanaan anggaran dimonitor secara real-time, dan setiap deviasi harus dijelaskan. Kepala unit yang tidak mencapai target efisiensi akan kesulitan mendapat promosi, sementara yang berhasil meningkatkan efisiensi mendapat penghargaan.

Korea Selatan mengimplementasikan sistem penganggaran berbasis kinerja yang sangat komprehensif. Setiap program pemerintah harus memiliki indikator kinerja yang jelas dan terukur. Anggaran dialokasikan bukan berdasarkan berapa yang diminta atau berapa yang dibelanjakan tahun lalu, tetapi berdasarkan target kinerja yang ingin dicapai. Program yang konsisten gagal mencapai target akan dikurangi anggarannya atau dihapus, sementara program yang berhasil bisa mendapat tambahan alokasi.

Estonia, sebuah negara kecil yang dulunya miskin, kini menjadi contoh cemerlang digitalisasi pemerintahan. Hampir semua layanan pemerintah, termasuk pengelolaan anggaran, dilakukan secara digital. Setiap warga negara bisa mengakses informasi tentang bagaimana anggaran dialokasikan dan dibelanjakan hingga ke tingkat yang sangat detail. Transparansi ini menciptakan tekanan sosial yang sangat kuat bagi pejabat pemerintah untuk mengelola anggaran secara efisien. Dari berbagai praktik terbaik ini, ada beberapa prinsip umum yang bisa kita pelajari. Pertama, transparansi adalah prasyarat untuk efisiensi. Kedua, akuntabilitas harus disertai dengan konsekuensi yang nyata, baik reward maupun punishment. Ketiga, teknologi adalah enabler yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi. Keempat, budaya organisasi yang mengutamakan hasil lebih penting daripada sekedar sistem dan prosedur.

Jalan Menuju Efisiensi Bukan Mimpi yang Mustahil

Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah peningkatan efisiensi anggaran di Indonesia adalah sesuatu yang realistis atau hanya mimpi di siang bolong? Saya percaya ini bukan hanya mungkin, tetapi juga mendesak untuk dilakukan. Namun ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan komitmen politik yang kuat.

Langkah pertama adalah membangun sistem perencanaan yang berbasis data dan analisis yang solid. Ini berarti investasi dalam sistem informasi yang mengintegrasikan data dari berbagai sektor dan level pemerintahan. Bayangkan jika setiap usulan program pembangunan harus disertai dengan data tentang jumlah penduduk yang akan terlayani, perbandingan biaya dengan alternatif lain, proyeksi dampak ekonomi dan sosial, serta rencana pemeliharaan jangka panjang. Usulan yang tidak didukung data yang kuat tidak akan lolos ke tahap penganggaran. Ini akan secara otomatis mengeliminasi banyak program yang diusulkan hanya untuk “habiskan anggaran” atau untuk kepentingan politik sempit.

Kedua, kita perlu revolusi dalam sistem pengadaan pemerintah. E-procurement yang ada saat ini masih setengah hati dan mudah dimanipulasi. Kita membutuhkan sistem yang benar-benar transparan di mana setiap tahapan tender bisa dimonitor publik secara real-time. Harga referensi harus didasarkan pada data pasar yang aktual, bukan HPS yang mudah di-mark-up. Kualifikasi vendor harus diverifikasi secara ketat dengan memanfaatkan teknologi big data untuk mendeteksi vendor-vendor bermasalah atau yang saling terafiliasi.

Ketiga, kita perlu mengubah paradigma penganggaran dari yang berbasis input dan output menjadi berbasis outcome. Jangan hanya tanya: sudah berapa persen anggaran terserap? Atau sudah berapa kilometer jalan dibangun? Tapi tanya: apakah jalan yang dibangun mengurangi waktu tempuh dan biaya logistik? Apakah program kesehatan yang dijalankan benar-benar menurunkan angka kesakitan? Apakah bantuan sosial yang disalurkan berhasil mengangkat penerima keluar dari kemiskinan? Pergeseran fokus ini akan mendorong para pengelola anggaran untuk berpikir tentang dampak, bukan sekedar menjalankan aktivitas.

Keempat, transparansi harus ditingkatkan secara radikal. Setiap rupiah yang dianggarkan dan dibelanjakan harus bisa dilacak oleh publik. Bukan hanya dalam bentuk laporan PDF yang tebal dan membosankan, tetapi dalam format yang interaktif dan mudah dipahami. Bayangkan sebuah aplikasi di mana warga bisa melihat berapa anggaran untuk perbaikan jalan di kelurahan mereka, siapa kontraktornya, berapa biaya per meter, kapan mulai dan selesai, serta bisa memberikan rating terhadap kualitas hasil pekerjaan. Transparansi semacam ini akan menciptakan tekanan sosial yang sangat kuat untuk efisiensi.

Kelima, pengawasan harus diperkuat dengan menjamin independensi lembaga pengawas dan mempercepat proses hukum terhadap penyimpangan. Inspektorat harus dipisahkan dari struktur pemerintahan yang diawasi. Temuan audit harus ditindaklanjuti dalam waktu yang ketat, bukan menumpuk menjadi backlog yang tidak pernah diselesaikan. Sanksi terhadap pejabat yang terbukti menyebabkan pemborosan atau korupsi anggaran harus tegas dan cepat, tidak berlarut-larut dalam proses hukum yang melelahkan.

Peran Teknologi Lebih dari Sekedar Alat

Dalam era digital ini, teknologi seharusnya menjadi game changer dalam peningkatan efisiensi anggaran. Namun implementasi teknologi di pemerintahan kita masih jauh dari optimal. Setiap kementerian dan lembaga memiliki sistemnya sendiri-sendiri yang tidak terintegrasi. Data tentang anggaran tersebar di berbagai platform yang tidak bisa saling berbicara. Akibatnya, potensi teknologi untuk meningkatkan efisiensi tidak terwujud sepenuhnya.

Yang kita butuhkan adalah sebuah sistem informasi pengelolaan keuangan negara yang benar-benar terintegrasi dari pusat hingga daerah, dari perencanaan hingga pertanggungjawaban. Sistem ini harus real-time, sehingga setiap saat kita bisa tahu berapa anggaran yang sudah terserap, untuk apa, dengan hasil seperti apa. Sistem ini juga harus dilengkapi dengan artificial intelligence yang bisa mendeteksi anomali, misalnya harga yang tidak wajar, vendor yang mencurigakan, atau pola pembelanjaan yang tidak normal.

Blockchain technology juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan transparansi dan mencegah manipulasi data anggaran. Dengan blockchain, setiap transaksi tercatat secara permanen dan tidak bisa diubah. Siapa pun bisa memverifikasi bahwa uang benar-benar mengalir dari kas negara ke kontraktor, dan dari kontraktor ke sub-kontraktor, hingga ke pekerja. Ini akan sangat efektif mencegah praktik pemotongan liar yang sering terjadi dalam proyek-proyek pemerintah. Namun teknologi hanyalah alat. Yang lebih penting adalah kemauan politik untuk menggunakannya secara konsisten dan keberanian untuk mengambil tindakan berdasarkan informasi yang dihasilkan teknologi tersebut. Tidak ada gunanya punya sistem monitoring canggih jika temuan-temuannya tidak ditindaklanjuti. Tidak ada manfaatnya punya data yang transparan jika tidak ada konsekuensi bagi yang melanggar.

Mengubah Budaya Tantangan Terbesar

Di balik semua sistem, teknologi, dan regulasi, tantangan terbesar untuk meningkatkan efisiensi anggaran sebenarnya adalah budaya. Budaya “yang penting proyek jalan” tanpa peduli dengan kualitas dan efisiensi. Budaya “habiskan anggaran atau tahun depan dikurangi” yang mendorong pemborosan di akhir tahun. Budaya “proyek adalah kesempatan mencari untung” yang merasuki tidak hanya oknum pejabat tetapi juga kontraktor dan konsultan. Budaya “diam adalah emas” yang membuat pegawai enggan melaporkan ketidakberesan yang mereka saksikan.

Mengubah budaya adalah pekerjaan yang paling sulit dan paling lama. Tidak ada shortcut atau solusi instan. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang memberikan contoh nyata, sistem reward and punishment yang konsisten, dan edukasi yang terus-menerus. Kita perlu pemimpin yang berani mengatakan: “Tahun ini kita tidak akan menghabiskan seluruh anggaran karena kita sudah mencapai target dengan lebih efisien, dan sisanya akan kita kembalikan ke kas negara.” Kita perlu pegawai yang dipromosikan bukan karena pandai menghabiskan anggaran, tetapi karena berhasil mencapai hasil maksimal dengan anggaran minimal. Perubahan budaya juga harus dimulai dari pendidikan. Sekolah-sekolah dan universitas perlu mengajarkan pentingnya efisiensi dan integritas dalam pengelolaan sumber daya publik. Mahasiswa administrasi publik dan akuntansi sektor publik tidak hanya perlu belajar teori dan teknis, tetapi juga nilai-nilai etika dan tanggung jawab sebagai pengelola uang rakyat. Mereka perlu memahami bahwa setiap rupiah yang dikelola pemerintah adalah hasil kerja keras jutaan wajib pajak, dan pemborosan sama buruknya dengan korupsi.

Peran Masyarakat Bukan Hanya Penonton

Selama ini, masyarakat cenderung berperan sebagai penonton dalam pengelolaan anggaran. Kita protes ketika ada skandal besar yang terungkap, kemudian lupa setelah berita berganti. Kita mengeluh tentang buruknya layanan publik, tetapi tidak menggunakan mekanisme yang tersedia untuk memberikan masukan atau pengaduan. Kita menuntut transparansi, tetapi ketika informasi disediakan, kita tidak meluangkan waktu untuk membacanya.

Padahal, masyarakat adalah kekuatan terbesar untuk mendorong efisiensi anggaran. Pemerintah, bagaimana pun kuatnya sistem kontrol internal, tetap membutuhkan pengawasan eksternal. Dan pengawasan eksternal yang paling efektif adalah pengawasan oleh masyarakat yang menjadi penerima manfaat sekaligus penyumbang dana melalui pajak.

Apa yang bisa dilakukan masyarakat? Pertama, aktif mengakses informasi anggaran yang sudah disediakan pemerintah. Banyak pemerintah daerah sudah memiliki portal transparansi anggaran, meskipun tidak sempurna. Dengan mengakses informasi ini, kita bisa tahu prioritas pembangunan di daerah kita dan memberikan masukan jika ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Kedua, berpartisipasi dalam forum-forum perencanaan pembangunan seperti Musrenbang. Jangan biarkan forum ini hanya diisi oleh segelintir orang yang sama setiap tahun. Kehadiran dan suara masyarakat luas akan mendorong perencanaan yang lebih responsif dan efisien.

Ketiga, tidak ragu melaporkan jika melihat indikasi pemborosan atau penyimpangan anggaran. Banyak saluran pelaporan yang tersedia, dari inspektorat hingga lembaga anti-korupsi. Yang penting, laporkan dengan data dan fakta yang jelas, bukan sekadar gosip atau prasangka. Keempat, memberikan apresiasi ketika melihat pemerintah bekerja dengan efisien. Kita terlalu sering hanya vokal dalam mengkritik dan lupa memberikan pujian ketika ada yang dikerjakan dengan baik. Apresiasi ini penting untuk memperkuat perilaku positif.

Efisiensi adalah Imperatif, Bukan Pilihan

Kita berada di persimpangan. Di satu sisi, aspirasi pembangunan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran dan ekspektasi masyarakat. Masyarakat ingin infrastruktur yang lebih baik, layanan kesehatan yang lebih berkualitas, pendidikan yang lebih maju, dan perlindungan sosial yang lebih luas. Di sisi lain, ruang fiskal kita semakin terbatas. Defisit anggaran sudah tinggi, utang pemerintah terus bertambah, dan kemampuan untuk menaikkan pajak sangat terbatas mengingat beban masyarakat sudah berat.

Dalam situasi seperti ini, efisiensi bukan lagi sekadar nice to have, tetapi absolutely necessary. Kita tidak punya kemewahan untuk terus memborong anggaran dengan berbagai inefisiensi. Setiap persen peningkatan efisiensi adalah peluang untuk melakukan lebih banyak pembangunan, melayani lebih banyak masyarakat, dan mencapai lebih banyak target tanpa harus menambah beban fiskal.

Peningkatan efisiensi anggaran membutuhkan perubahan yang komprehensif: sistem yang lebih baik, teknologi yang lebih canggih, regulasi yang lebih ketat, pengawasan yang lebih kuat, dan yang paling penting, budaya yang berbeda. Ini bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam satu atau dua tahun. Ini adalah agenda jangka panjang yang membutuhkan komitmen berkelanjutan dari semua pihak: pemerintah, legislatif, lembaga pengawas, akademisi, media, dan masyarakat.

Tetapi jika kita berhasil, imbalannya akan sangat besar. Bayangkan jika kita bisa meningkatkan efisiensi anggaran sebesar 20 persen saja. Dengan APBN sekitar 3000 triliun rupiah, itu berarti 600 triliun rupiah yang bisa digunakan untuk pembangunan tambahan atau untuk mengurangi defisit dan utang. 600 triliun rupiah bisa membangun puluhan ribu kilometer jalan, ratusan rumah sakit, ribuan sekolah, atau sejuta unit rumah subsidi. Atau bisa digunakan untuk program perlindungan sosial yang lebih luas dan lebih efektif.

Lebih dari itu, peningkatan efisiensi akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika masyarakat melihat bahwa uang mereka dikelola dengan baik, mereka akan lebih rela membayar pajak. Ketika investor melihat bahwa pemerintah bekerja secara efisien, mereka akan lebih tertarik menanamkan modal. Ketika generasi muda melihat bahwa integritas dan efisiensi dihargai, mereka akan lebih tertarik berkarir di sektor publik. Ini akan menciptakan spiral positif yang pada akhirnya menguntungkan semua pihak.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu meningkatkan efisiensi anggaran, tetapi apakah kita memiliki kemauan politik dan keseriusan untuk melakukannya. Apakah kita berani mengubah sistem yang sudah nyaman meski tidak efisien? Apakah kita rela mengorbankan kepentingan jangka pendek demi manfaat jangka panjang? Apakah kita sanggup konsisten menjalankan reformasi meski menghadapi resistensi dari berbagai pihak yang diuntungkan oleh status quo? Sejarah akan mencatat generasi ini dari bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jika kita memilih untuk berubah, generasi mendatang akan menikmati pembangunan yang lebih cepat dan berkelanjutan. Jika kita memilih untuk mempertahankan status quo, kita akan terus terjebak dalam lingkaran pembangunan yang lambat meski anggaran terus bertambah. Pilihan ada di tangan kita. Dan waktu untuk memilih adalah sekarang.

Share this:

  • WhatsApp
  • Facebook
  • Telegram
  • Twitter

Continue Reading

Previous: Pemkab Ketapang Serahkan Kembali Mahasiswa Program PLP-2 PGRI Pontianak
Next: Perkuat Sinergi, Bupati Ketapang Bersilaturahmi ke TVRI Kalbar di Pontianak

Medik.TV Ketapang

Advertorial

Slider Post

Jelang Akhir Tahun, Pengurus Masjid Agung Al-Ikhlas Ketapang Gelar Khitanan Massal Gratis ke-V tahun 2025
SMP Al-Jihad Ketapang Raih Akreditasi A di Akhir Tahun 2025
Dari Program Secanting Beras, Karang Taruna Desa Kalinilam Salurkan 50 Paket Sembako
Akhiri Kegiatan Safari Natal 2025, Bupati mohon Doa Bangun Ketapang Lebih Maju dan Mandiri
Perkuat Sinergi, Bupati Ketapang Bersilaturahmi ke TVRI Kalbar di Pontianak
Efisiensi Anggaran dan Percepatan Pembangunan yang Terabaikan
Pemkab Ketapang Serahkan Kembali Mahasiswa Program PLP-2 PGRI Pontianak
Ketua MABM Ketapang Hadiri FSBM Nanga Tayap, Ini Pesannya
Bupati Ketapang Pimpin Apel Pembukaan Retret Kepala Desa Hasil Pemilihan Serentak Tahun 2025
Tiga Oknum Desa di Jelai Hulu Diciduk Kejari Ketapang, Korupsi APBDes
previous arrow
next arrow

Iklan Full

Office: Jl. Kolonel Sugiono Gg. Kenari No. 2 Delta Pawan Ketapang.

email: blueink@infoketapang.com

Subcribe Berita Infoketapang

Copyright © All rights reserved | blueink.id